GEMA - Kerajaan
Tjangtoeng dan Batoe Litjin (Kerajaan Cantung dan Batu Licin) adalah kerajaan
pecahan dari Kerajaan Tanah Bumbu, wilayah kerajaan
Cantung dan Batu Licin mencakup daerah aliran sungai Cantung dan daerah aliran sungai Batulicin serta daerah sekitarnya.
Penguasa pertama kerajaan ini adalah Ratu Intan I puteri Ratu Mas, Ratu Mas adalah penguasa terakhir Kerajaan Tanah Bumbu, yang kelak terpecah menjadi beberapa wilayah kerajaan-kerajaan kecil.
Pada Tahun 1870 Kerajaan Tanah Bumbu dibagi kepada anak-anak Ratu Mas yaitu Pangeran Prabu dan Ratu Intan I, Pangeran Prabu memperoleh wilayah utara Kerajaan Bangkalaan, sedangkan wilayah selatan diberikan kepada Ratu Intan I.
Pada tahun 1861 wilayah Kerajaan Batoe Litjin dan Tjangtoeng (Kerajaan Batu Licin dan Cantung) menjadi suatu wilayah pemerintahan Swapraja yang dikepalai seorang Bumiputera, bagian dari Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe.
Dalam Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, di bawah kekuasaan Asisten Residen GH Dahmen yang berkedudukan di Samarinda, pemerintah daerah Swapraja tersebut dikuasakan kepada seorang kepala bumiputera yaitu Pangeran Syarif Hamid.
Batoe Litjin dan Tjangtoeng (Batulicin dan Cantung) masing-masing merupakan daerah-daerah landschap dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, pada masa Republik Indonesia Serikat, wilayah ini termasuk ke dalam kesatuan kenegaraan Federasi Kalimantan Tenggara.
Sekarang wilayah Wapraja ini menjadi Kecamatan Hampang Kotabaru , Kecamatan Kelumpang Hulu Kotabaru dan Batu Licin Tanah Bumbu serta kecamatan-kecamatan pemekarannya. Batulicin sekarang merupakan ibukota dari Kabupaten Tanah Bumbu.
Kepala Pemerintahan saat itu, Ratu Intan I anak Ratu Mas, menjadi Ratu Tjangtoeng I dan Batoe Litjin I (1780-1800) dan menikah dengan Sultan Anom dari Paser (dikenal sebagai Sultan Dipati Anom Alamsyah Aji Dipati (1768-1799).
Raja Gusti Besar binti Pangeran Prabu (1820-1830) atau (18xx-1825) sebagai Raja Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul, Cengal, Cantung, Batulicin. Gusti Besar berkedudukan di Cengal. Cantung dan Batulicin diwarisi dari bibinya yaitu Ratu Intan I. Gusti Besar menikahi Aji Raden Bin Aji Negara (Sultan Sepuh 1 Alamsyah). Dan Sultan Sulaiman dari Paser menganeksasi Cengal, Manunggul, Bangkalaan, serta Cantung, tetapi kemudian dapat direbut kembali oleh Aji Jawi.
Sedangkan Gusti Muso (tidak ada keterangan)
Kemudian Raja Aji Jawi (1840), (putera Gusti Besar) (1825-1840), dan Pangeran Aji Jawi (Aji Djawa) (1840-1841) sebagai Raja Bangkalaan, Sampanahan, Manunggul, Cengal, Cantung dan Batulicin.
Perlu diketahui pada mulanya Cengal adalah daerah pertama yang berhasil direbut kembali, kemudian Manunggul dan Sampanahan sedangkan Cantung diperolehnya ketika ia menikahi Gusti Katapi puteri Gusti Muso, penguasa Cantung sebelumnya yang ditunjuk ibunya.
Kemudian Bangkalaan diperolehnya ketika ia menikahi Gusti Kamil puteri dari Pangeran Muda (Gusti Kamir) penguasa Bangkalaan sebelumnya yang ditunjuk ibunya.
Belakangan Sampanahan diserahkan kepada pamannya Pangeran Mangku (Gusti Ali) yang memiliki pewaris laki-laki bernama Gusti Hina.
Sedangkan Raja Aji Mandura menganeksasi Buntar Laut, dan sepeninggal Gusti Dandai yang tidak memiliki ahli waris, Aji Madura menikah dengan Ratu Jumantan (anak Pangeran Prabu Nata, Raja Sampanahan) dan memiliki keturunan Aji pangeran kusumanegara (1864-1929).
Pangeran Abdul Majid Kasuma dan Pangeran Kusumanegara / Aji Darma (tidak ada keterangan).
- Sumber : Wikipedia bahasa Indonesia - Editor : Rian